Inilah sepenggal kisah asmara romantis terlahir di perbukitan hutan wilayah kecamatan Kedewan. Kisah yang mengharu biru ini melahirkan sebuah prasasti kenangan yang bertahan selama ratusan tahun di masyarakat Kedewan yaitu nasi gulung.
Alkisah pada zaman kolonialisme Belanda di wilayah kecamatan Kedewan khususnya area perbukitan hutan Desa Wonocolo, Hargomulyo, dan Beji ditemukan kandungan minyak bumi cukup banyak, sehingga menyebabkan pemerintahan kolonial Belanda mengirimkan rombongan besar dalam misi menambang minyak bumi disana.
Pemerintah kolonialisme Belanda akhirnya mendirikan komplek perkantoran dan perumahan elit untuk para pejabat pertambangan kolonialisme terdiri dari para warga Belanda beserta keluarganya, sementara mereka yang bekerja di hutan-hutan perbukitan untuk menambang adalah para buruh pribumi yang dipekerjakan secara paksa dengan gaji sangat kecil dan mereka harus bekerja dengan perbekalan seadanya bahkan terkadang kiriman makanan dari perusahaan kolonial terlambat, apalagi untuk wilayah-wilayah di dalam hutan yang saat itu sama sekali belum ada jalan akses.
Adalah seorang pemuda desa tampan yang ikut dipaksa bekerja sebagai buruh tambang. Pemuda ini gagah dan tampan sehingga membuat para noni-noni Belanda yang tinggal di kawasan elit kolonialisme Belanda sering membicarakan tentang ketampanan pemuda ini.
Pada awalnya pemuda ini karena cukup pandai dia ditempatkan di area yang tidak terlalu jauh dari pusat perkantoran sebab terkadang diperbantukan di kantor. Namun karena keberadaannya membuat salah satu putri dari pejabat kolonialisme yang tinggal di kawasan tersebut jatuh hati dan akhirnya ini diketahui oleh sang ayah yang merupakan pimpinan pertambangan Belanda di kawasan tersebut. Lalu untuk menghindari pertemuan antara keduanya yang tampaknya saling jatuh cinta akhirnya sang pemuda dipekerjakan di area pertambangan paling jauh di perbukitan hutan sangat pelosok dan sulit untuk diakses,yang menyebabkan pengiriman makanan ke sana pun sering tertunda.
Pemuda ini sering harus berpuasa tanpa makan yang cukup selama berhari-hari untuk menunggu kiriman yang terlambat dan ketika kiriman makanan datang pun tidak bisa disimpan lama, akhirnya membuat fisiknya jadi kurus.
Suatu ketika sang noni Belanda mendengar kabar ini dan menangis sedih lalu dia pun berusaha untuk menolong kekasihnya. Sang Noni tahu bahwa pemuda ini suka dengan lontong dan nasi bungkus yang dibungkus daun pisang karena suka dengan aromanya yang sedap, sedangkan lauk yang disukai oleh pemuda desa yang tampan ini adalah ikan teri dan sambal maka kemudian dia mencoba untuk mengirim makanan itu, namun makanan tersebut tidak bisa bertahan lama sudah basi sehingga pemuda tersebut lebih banyak menahan lapar daripada mendapatkan makanan.
Sang Noni pun memanggil juru masak yang dia miliki dan meminta untuk mengolah makanan yang memiliki aroma daun pisang yang kuat berbahan beras dan mampu bertahan selama beberapa hari. Kemudian setelah dilakukan beberapa kali uji coba terciptalah ide dari noni belanda nasi yang kemudian setelah masak dimasukkan ke dalam gulungan daun pisang yang lebar dan tebal lalu dimasak lagi sampai cukup lama sehingga betul-betul aroma dari daun pisang masuk ke dalam nasi tersebut, dan nasi itu kemudian dibungkus rapat dengan berlipat-lipat daun pisang yang diikat kuat dalam bentuk gulungan agar bisa kedap udara dan tidak terkena kotoran, hal ini membuat nasi gulung ini bisa bertahan lama tidak basi bahkan selama dua hari atau lebih, diiringi dengan lauk sambal teri yang juga sudah goreng masak dan dibungkus rapat, lalu dengan sangat bahagia sang noni Belanda ini pun akhirnya mengirimkan makanan nasi gulung itu ke pemuda yang bekerja di pedalaman ini.
Dengan penuh urai air mata haru pemuda ini pun kembali bisa menikmati makanan sedap secara rutin, demikian pula para pekerja yang ada di lokasi itu.
Hal ini akhirnya diketahui oleh ayah sang Noni namun karena makanan ini walau murah ternyata bisa menjadi pilihan terbaik bagi para pekerja yang lokasinya jauh di pelosok maka akhirnya justru sang ayah menjadikan hasil temuan dari putrinya ini sebagai ransum untuk konsumsi para buruh yang di jauh pelosok perbukitan hutan.
Sampai dengan saat ini nasi gulung masih tetap bertahan dikonsumsi oleh masyarakat kecamatan Kedewan sebagai salah satu makanan khas favorit dikarenakan aromanya yang betul-betul nikmat, daun pisang yang sedap, serta teksturnya juga yang lembut, enak, mampu bertahan lama, dan tak lupa selalu membawa romantisme cinta bagi mereka yang memakannya.
Kini kita tetap bisa menemukan nasi gulung di berbagai warung yang berlokasi di area pertambangan sumur tradisional yang masih bertahan di Kecamatan Kedewan, prasasti romantisme yang abadi.
(Aff/skcm)
DISCLAIMER : Kisah fiktif, ditulis sebagai bahan narasi Lomba Cipta Menu Pemkab Bojonegoro Tahun 2023